Puasa Raga dan Jiwa

Prof. Dr. Oman Fathurahman (Guru Besar Filologi UIN Jakarta, Pengampu Ngariksa, Pengasuh Pesantren Al Hamidiyah, Depok) Prof. Dr. Oman Fathurahman (Guru Besar Filologi UIN Jakarta, Pengampu Ngariksa, Pengasuh Pesantren Al Hamidiyah, Depok)

Dalam sebuah Riwayat, Rasulullah Saw menyampaikan:

إن لكلِّ شيءٍ زكاةٌ وزكاةُ الجسدِ الصيامُ

Segala sesuatu ada zakatnya. Zakat jasad kita adalah berpuasa.  

Berpuasa di bulan suci Ramadan itu sesungguhnya adalah satu hak atas tubuh kita yang harus kita tunaikan supaya tubuh kita sehat, seimbang, dan bisa menjalankan fungsinya sebagai wadah bagi ruh. Sejarah mencata, puasa tidak hanya wajib untuk umat Nabi Muhammad Saw. 

Di dalam Al-Quran, Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Al-Baqarah [2]:183)

Manusia yang diwajibkan berpuasa itu tidak hanya kita. Bahkan sampai sekarang umat agama lain punya tradisi berpuasa, ada puasa harian, bulanan, tahunan, tentu saja dengan tradisi dan cara yang berbeda-beda.

Di situlah puasa mengajarkan kepada kita untuk saling menghargai syariat dan praktik keagamaan masing-masing, yang substansinya adalah sama, yaitu menahan diri.

Dalam Islam, puasa tidak cukup hanya raga saja, badan dan jasad lahiriah menahan tidak makan, tidak minum, dan tidak melakukan hubungan suami istri. Lebih dari itu, puasa juga melakukan riyadlah, latihan, penyucian diri supaya kita berakhlak. Jiwa kita tidak berbohong, tidak menghujat, tidak menyakiti orang lain. Kalua posting di media sosial juga tidak membuat orang lain dirugikan. Itu adalah perpaduan keseimbangan antara puasa raga dan puasa jiwa kita. 

Sebar Artikel Ini

Artikel Terkait