Idulfitri dan Koeksistensi
Dalam satu ungkapan hikmah, para ulama mengatakan, Syajaratul ukhuwwah tusqa bi maa’in tazaawur. Pohon persaudaraan itu disiraminya dengan saling mengunjungi, dengan membangun perjumpaan.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah mengatakan, seorang yang beriman, jika dia berjumpa dengan saudaranya, saling memandang dengan hati, tidak ada kebencian, apalagi kalau ditambah dengan saling mendoakan, lalu tangannya terulur untuk bersalaman, maka akan rontok dosa-dosa kecilnya, seperti daun rontok dari pohon pada musim kemarau.
Perjumpaan adalah awal dari mahabbah. Dari perjumpaan, ada kasih sayang. Kalau kita lihat keadaan kita sebagai umat, baik secara global umat Islam atau pun sebagai umat Islam yang ada di Indonesia, _maa ahwajanaa ilaa haadizil mahabbah_, betapa perlunya kita kepada kasih sayang.
Di tengah kontestasi yang beragam, ada kontestasi politik yang menghadirkan ketegangan-ketegangan, bahkan terkadang ada lontaran kebencian satu sama lain, kita perlu semangat menebar kasih sayang.
Demikian juga dalam keseharian kita, setiap orang keluar dari rumahnya untuk mencari rizki, ada persaingan, ada kompetisi yang semakin lama semakin kuat, maka kita perlu oease untuk kembali kepada Mahabbah, kembali kepada rasa saling menyayangi. Sebab itulah yang akan menghadirkan _darus-salaam_ dalam kehidupan.
Allah menginginkan agama itu menjadi oase kedamaian. Ramadan membuka ruang dan kesempatan perjumpaan bagi kita, satu sama lain. Di rumah, kita perbanyak perjumpaan. Dalam ibadah berjamaah itu juga satu perjumpaan, ditambah ada keberkahan di situ.
Mari maknakan Ramadan dalam makna-makna istimewa seperti ini. Jadikan sebagai asas untuk membangun mahabbah di antara kita.