Meneladani Sang Pembawa Perdamaian Dunia
Sosok Muhammad saw tak pernah habis dibahas dari perspektif mana pun. Ia merupakan figur yang mendapatkan perhatian luar biasa dari berbagai pakar, termasuk dari kalangan non-Muslim.
Sekadar contoh, Thomas Carlyle, dalam bukunya, On Heroes, Hero, Worship and the Heros in History (Carlyle, 1841) menyorot Muhammad saw dari sudut pandang kepahlawanan. Durant dalam The Story of CivilIzation in The World (Durant, 2001) melihatnya dari tolok ukur karya. Sementara Michael Hart, dalam The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History (Hart, n.d.), menempatkan Muhammad saw sebagai sosok paling berpengaruh di dunia. Dan, masih ada sederet pakar lainnya yang mengakui kebesaran tokoh pengubah sejarah peradaban dunia ini.
Bahwa Nabi Muhammad saw dianugerahi keindahan dan ketinggian akhlak telah dinyatakan Al Quran dalam QS. Al-Qalam: 4.2. Nabi Muhammad menjadi referensi teladan terbaik (uswah hasanah), sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Ahzab: 21.3. Sosok ini dikenal sebagai utusan Allah yang penuh kasih sayang (Q.S. At-Taubah: 128.4) dengan karakter jujur, amanah, teguh, bijak, adil, sabar, pemaaf, santun, dan lainnya.
Sayang, generasi milenial dan post-milenial Muslim saat ini sepertinya banyak yang kehilangan identitas diri. Mereka lebih mengenal sosok yang lain dari pada pribadi Nabi mereka. Mereka mengidolakan artis-arti K-Pop, hollywood, atau bollywood. Secara psikologis, pengidola itu akan selalu meniru dan mengintroyeksikan ke dalam dirinya nilai-nilai atau hal-hal yang melekat pada diri sang idola (Feist, Feist, & Roberts, 2013). Di sinilah pentingnya semua individu, terutama para orang tua, untuk lebih mengenalkan dan menanamkan rasa cinta kepada Nabi. Pada gilirannya, rasa cinta akan memberikan energi positif untuk mengikuti jejak langkah sosok yang dicintai, Sang Rasul Panutan.
Semangat Persatuan, Persaudaraan, dan Perdamaian
Keberhasilan Nabi adalah buah dari kelembutan dakwah nabi yang diabadikan dalam Q.S. Ali Imran: 159. Spirit dakwah Nabi adalah dengan penuh kebijaksaanaan, kemudahan, kelembutan dan kasih sayang. Dalam satu riwayat disebutkan, Nabi berpesan, “Mudahkanlah dan jangan kalian persulit, berilah kabar gembira dan janganlah kalian membuat orang lari” (Muttafaq Alaih). Dakwah penuh damai ini pula yang menjadi kunci keberhasilan Walisongo di Nusantara (Tim Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2018, p. 400).
Pengutusan Nabi Muhammad Saw menjadi rahmat bagi segenap penghuni alam. Nabi lahir dan menyaksikan panggung sejarah kehidupan jahiliah yang begitu memilukan: perbudakan, pelacuran, perjudian, pencurian, perampokan, pertengkaran, perkelahian. Di tengah merekalah Nabi diutus untuk mengubah jalannya peradaban. Tanpa mengenal lelah, ia terus-menerus menyeru pada ajaran kebaikan di tengah berbagai rintangan yang hebat, hingga turun perintah hijrah (Chalil, n.d., p. 475).
Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) — menandai tekad Nabi dalam mengupayakan persatuan, persaudaraan, dan perdamaian. Pada 622 M, begitu sampai di _Yatsrib_ (Madinah), Nabi mengadakan perjanjian damai yang mempersatukan kaum Muslim Anshar, Muhajirin, Yahudi dan kaum lainnya di Madinah dalam kesatuan komunitas atau ummat alwāḥidah (Munt, 2014). Hal ini menunjukkan kuatnya komitmen Nabi dalam menjunjung tinggi sikap persaudaraan, toleransi dan nilai-nilai kemanusiaan (Hisham, 2000, p. 108).
Sementara saat ini, narasi-narasi yang dibangun untuk menyerang Islam umumnya adalah tuduhan bahwa Islam agama pedang dan Muhammad pembawa ajaran perang. Banyak sekali tulisan Spenser yang berusaha menyerang pribadi Nabi, misal The Truth of Muhammad: Founder of the World’s Most Intolerant Religion (2006), Religion of Peace, Why Christianity Is and Islam Isn’t (2007), Not Peace but A Sword (2013), Did Muhammad Exist: An Inquiry into Islam's Obscure Origins, The Politically Incorrect Guide to Islam (and The Crusades) (2005), The History of Jihad: From Muhammad to ISIS (2018). Juga banyak yang berupaya mendiskreditkan Islam, seperti Jihad: The Holy War, Time Bomb in The Middle East (2002) yang menyamakan jihad dengan perang suci dan bom teror, Islam at War: A History, yang melekatkan Islam dengan perang, Islamic Jihad: A Legacy Of Forced Conversion, Imperialism, and Slavery (2009) yang menyatakan bahwa jihad dalam Islam melegalkan imperialisme dan perbudakan; Islam and Terrorism: The Truth about ISIS, The Middle East and Islamic Jihad (2011) yang mengaburkan Islam, terorisme, dan jihad.
Hal ini berseberangan dengan fakta historis bahwa Islam tidak dimulai dengan kekerasan, melainkan ajakan damai untuk menyembah Tuhan yang Esa (Cook, 2005). Bahkan, Islam pun mensyaratkan banyak hal dalam peperangan. Ayat-ayat tentang perang semestinya dapat dipahami dengan konsep al-'illat wa al-ma'lûl atau sebab dan akibat (Jafar & Amrullah, 2019).
Sejarah mencatat, saat peristiwa Fath Makkah (pembukaan kota Makkah)—penulis tidak mengatakan ‘menaklukkan’ karena pada dasarnya fath berarti ‘membuka’--, Nabi tidak membalas mereka yang dahulu memusuhi dan menganiaya umat Muslim. Nabi justru memilih jalan pengampunan dan perdamaian. (Lings, n.d.). Masyhur pula riwayat, Nabi tidak menistakan tawanan perang Badar, melainkan justru memilih membebaskan dengan tebusan dan bagi yang tidak mampu, mereka menebusnya dengan jasa mengajar dan menulis bagi 10 anak Muslim di Madinah (Djabbar: 20)
Bagi yang mengenal dan meniru Rasul dengan baik, maka tidak mungkin terjerumus dengan tindakan-tindakan kekerasan, apalagi terorisme. Karakter Nabi adalah character reform, memperbaiki, bukan menyakiti atau menghancurkan. Sebab, kehadiran beliau sebagai rahmat tidak hanya bagi umat Muslim, melainkan bagi seluruh umat dan seluruh alam atau rahmatan lil’alamiin (Khan, 1998).
Dalam hal ini pula, Mahatma Ghandi, tokoh perdamaian dunia, menyatakan keyakinannya bahwa bukanlah pedang yang membuat Islam mendapatkan tempat, melainkan keserdahanaan, keteguhan, dan kepedulian yang ditunjukkan Sang Nabi (Gonaim, 2020). Bahkan, Sir Bernard Shaw menyebut Nabi sebagai The Savior of Humanity atau Penyelamat Kemanusiaan (Qaraya, 2016).
Meneruskan Perjuangan Sang Nabi
Dalai Lama, tokoh Tibet, mengatakan, untuk meraih perdamaian dunia, kita perlu mengikuti teladan Nabi Muhammad. Ini tentu tak lepas dari pembacaan yang benar tentang kepribadian dan cara dakwah Nabi yang damai, sejuk serta penuh cinta dan kasih sayang.
“Kehidupan Nabi Muhammad adalah teladan terbaik bagi umat manusia. Kita seharusnya mengikut jalan yang ditunjukkan Nabi Muhammad untuk mendirikan perdamaian gobal, mengakhiri terorisme dan tirani di dunia. Pesan damai, cinta, keadilan, dan toleransi Nabi Muhammad akan selalu menjadi penerang utama untuk seluruh umat manusia,” kata Dalai Lama (https://www.thenews.com.pk/print/89516-Follow-Prophet-Muhammad-PBUH-to-get-global-peace-Dalai-Lama)
Saatnya kita merajut benang yang berserak di tengah ancaman disintegrasi sosial dewasa ini. Saatnya setiap individu menghidupkan kembali semangat persaudaraan, memperkokoh persatuan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Saatnya mengukuhkan kesadaran untuk meneruskan perjuangannya dalam mengajarkan keimanan, meninggalkan kebodohan, mengangkat nilai dan martabat kemanusiaan, serta memperjuangkan perdamaian.
Penulis:
Siti Romlah, Pemenang Lomba Menulis "Spirit Cinta Kasih, Persaudaraan, dan Kemanusiaan dalam Dakwah Nabi Muhammad saw" tahun 2021 yang diselenggarakan Muslim Elders Indonesia