Di Balik Nama Terowongan Silaturahmi Istiqlal-Katedral

Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral (foto: FKusuma) Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral (foto: FKusuma)

Saat artikel saya yang berjudul “Terowongan Istiqlal-Katedral” dimuat harian Republika (19/2/2021), ada komentar menarik dari Lukman Hakim Saifuddin (LHS), Menteri Agama masa bhakti 2014-2019. Menurut penuturan LHS, jauh hari sebelum terowongan antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral direalisasikan pembangunannya oleh Presiden Joko Widodo awal Februari tahun ini, pernah terjadi perdebatan saat rapat di Kementerian PUPR. Ide membangun ‘penghubung’ antara masjid terbesar di Asia Tenggara dan gereja Katolik pertama di Batavia itu disepakati, tetapi bentuknya seperti apa belum ada titik temu.

LHS sebagai Menteri Agama kala itu mengusulkan pembangunan jembatan penghubung di atas jalan protokol (sehingga lebih nampak lahiriah), bukan terowongan dalam tanah (yang tak terlihat). Tujuannya, agar simbol itu bisa lebih jelas dan nampak di permukaan; seperti pesan yang hendak disampaikan kepada dua komunitas agama yang berlainan itu. Menurut LHS, jembatan penghubung tak semata sebagai simbol kerukunan umat beragama melalui ‘menyatunya’ dua rumah ibadah yang berbeda, tetapi juga simbol keberlanjutan peradaban melalui bersatunya bangunan masa lalu dan masa kini.

Gereja Katedral mewakili kemasalampauan dan warisan sejarah Indonesia yang adiluhung. Dibangun dengan arsitektur bergaya neo-gotik khas Eropa, cikal bakal gereja yang memiliki nama resmi Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga (Jerman: De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming) sudah ada sejak tahun1808. Berkali-kali mengalami kerusakan dan pemugaran, gereja yang memiliki tiga menara, yaitu Menara Benteng Daud, Menara Gading, dan Menara Angelus Dei itu diresmikan dan diberkati oleh Mgr. Edmundus Sybradus Luypen, SJ, seorang Vikaris Apostolik Jakarta pada 21 April 1901.

Sementara bangunan Masjid Istiqlal lebih bernuansa kemodernan dan masa kekinian. Masjid yang pemancangan tiang pertamanya dilakukan pada 1961 oleh Presiden Soekarno itu diarsiteki seorang Nasrani bernama Frederich Silaban. Lokasinya yang berada di sekitar Monumen Nasional (Monas) dan dibangun dekat dengan Gereja Katedral merupakan keinginan Soekarno agar menjadi lambang toleransi beragama. Namun kontras dengan Katedral, Istiqlal memiliki gaya arsitektur modern dengan dinding dan lantai berlapis marmer, dihiasi ornamen geometrik dan baja antikarat. Bangunan utama masjid ini dimahkotai satu kubah besar berdiameter 45 meter yang ditopang 12 tiang besar dengan menara tunggal setinggi 96,66 meter menjulang di sudut selatan selasar masjid.

Sampai titik ini, usulan LHS dapat difahami secara rasional. Namun dalam perkembangannya usulan dan argumen tersebut tidak menjadi kenyataan. Presiden Jokowi--tentu setelah mendapat masukan dari berbagai kalangan--lebih memilih dan menamakan simbol penghubung dua rumah ibadah itu dengan “terowongan silaturahmi”. Lambang toleransi beragama yang dicitakan Soekarno dikongkritkan melalui padanan kata yang memiliki bobot religius sekaligus menyatukan pemahaman bersama (mutual understanding) karena berasal dari bahasa yang dimengerti kedua belah pihak.

Terowongan (tunnel) diartikan “sebuah tembusan di bawah permukaan tanah yang umumnya tertutup di seluruh sisi kecuali di kedua ujungnya yang terbuka sebagai jalan atau menuju keluar” sudah familiar di kalangan masyarakat dan bisa disaksikan di berbagai daerah. Sebagai “tembusan penghubung bawah tanah” terowongan diciptakan untuk memberi kemudahan akses bagi pejalan kaki atau transportasi, pengaliran air, pembangkit listrik, maupun manfaat lain. Terowongan juga didesain sebagai solusi konstruksi mengatasi gangguan pada infrastruktur di permukaan yang menjadi kunci percepatan pembangunan infrastruktur yang efektif dan efisien. Sedangkan silaturahmi (akar kata Arab: silat al-rahm) sudah menjadi bahasa Indonesia baku yang bermakna tali persahabatan (persaudaraan). Umat Islam maupun Kristen paham arti dan menggunakan kata ini dalam pergaulan sehari-hari.

Ditarik ke makna simbolik atau perlambang, pembangunan terowongan yang digabung dengan kata silaturahmi yang berbobot religius tampaknya lebih mengena ketimbang ‘jembatan penghubung’. Karena jembatan sebagai “titian besar yang direntangkan di atas sungai atau jalan” bisa mengganggu pemandangan atau jalan raya yang menghubungkan kedua lokasi itu sendiri. Bisa jadi fasad tertentu di sepanjang koridor yang dilalui jembatan harus diubah dan dibongkar, dan fasilitas yang dilintasi rusak atau terganggu. Seperti itu tampaknya umat akan merespon jika yang dipilih jembatan.

Narasi yang ditawarkan Jokowi dengan “terowongan silaturahmi” memberikan makna terhadap sesuatu yang sebenarnya fungsional, yakni mobilisasi jemaah dari Istiqlal ke Katedral atau sebaliknya bisa lancar. Tidak terhambat karena jalan raya yang menghubungkan dua lokasi ini terbilang padat dan sering macet. Di titik inilah bobot kata silaturahmi menemukan relevansinya, sebagai spirit yang menghendaki pendekatan “dari dalam dan di bawah permukaan”. Jika simbol umumnya bersifat lahiriah, spirit menekankan sisi dalam (inner side) dari wadag bangunan yang tampak.

Masjid dan Katedral adalah dua rumah ibadah umat yang berlainan agama. Keduanya bukan semata gedung sakral dengan arsitektur, seni, dan asesoris yang menghiasi secara khas dan kategorikal. Masjid dan Katedral adalah simbol sekaligus simpul yang menyatukan (titik temu) umat/jemaah dalam peribadatan kepada Tuhan, Allah Yang Maha Esa. Tauhid. Monoteis. Rumah ibadah bisa berbeda fungsi dan terpisah lokasinya, tetapi bertemu dalam satu tujuan yakni penyembahan, dan satu Tuhan; zat yang disembah melalui salat atau kebaktian dan ritual lainnya.

Meski begitu, dua umat (Islam dan Kristen) dan dua rumah ibadah (masjid dan gereja) ini tetaplah berbeda, bahkan dalam banyak hal terdapat potensi laten untuk bertengkar dan bermusuhan. Karena itu, pendekatan spiritual bisa mendekatkan perbedaan-perbedaan itu, dengan saling mengedepankan pemahaman yang mendalam. Melalui terowongan yang “terhubung di bawah tanah”, perbedaan simbol-simbol keagamaan itu bukan saja ingin didekatkan secara fisik, tetapi juga merekatkan hati, pikiran, sikap, dan tindakan.

Argumen lain, dari sisi perkembangan peradaban ada prinsip continuity and change. Katedral yang memiliki sejarah panjang di Indonesia tetap dilestarikan dan tidak diubah arsitekturnya. Sementara Masjid Istiqlal dilakukan renovasi besar-besaran. Lanskapnya ditata ulang menjadi indah dan semakin kelihatan memesona. Lantai marmernya dipoles sehingga lebih berkilau. Tata cahaya (lighting)nya diganti sangat modern. Fasad dan tamannya tertata rapi dan menawan. Sungai yang membelah Istiqlal juga semakin bersih dan jernih. Nah, terowongan yang saat ini sedang dalam proses pengerjaan dapat menghubungkan kemasalampauan (seni dan arsitek Katedral) dan kemasakinian sekaligus kemasadepanan (citra Istiqlal yang modern).

Jika logika ini yang digunakan maka pembangunan terowongan Istiqlal-Katedral bukan saja perlu tetapi juga penting bagi Indonesia yang majemuk dari sisi agama. Inisiasi ini akan menjadi contoh penerapan nilai-nilai kerukunan, toleransi, harmoni, dan kebersamaan antar umat beragama yang selama ini kita perjuangkan. Kementerian Agama yang sedang gencar mengibarkan Moderasi Beragama mendapat jalan lempang untuk meneruskannya. Semoga.

 

Mastuki HS (Dosen Pascasarjana Islam Nusantara UNUSIA Jakarta, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH)

Tulisan ini terbit juga di kemenag.go.id

Sebar Artikel Ini

Artikel Terkait