Sampaikan Pidato di PBB, Grand Syekh Al Azhar: Islamofobia Tidak Rasional dan Tidak Logis, Ancaman Serius Perdamaian Global

Grand Syekh Al Azhar dan Ketua MHM Ahmed Al Tayeb Grand Syekh Al Azhar dan Ketua MHM Ahmed Al Tayeb

Grand Syekh Al Azhar yang juga Ketua Majelis Hukama Muslimin (MHM), Imam Akbar Dr. Ahmed Al-Tayeb, menyampaikan pidato di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia, Sabtu (15/3/2025). Pidatonya, yang disampaikan atas namanya oleh Duta Besar Osama Abdelkhalek, Perwakilan Tetap Mesir untuk PBB, menekankan bahwa hari internasional adalah hasil dari upaya terpuji yang dipimpin negara-negara Muslim di PBB untuk menghadapi fenomena yang tidak rasional dan tidak logis, namun telah menjadi ancaman signifikan bagi perdamaian global.

Dalam pidato itu, Grand Syekh Al Azhar menyampaikan penghargaannya yang mendalam atas sikap berani dan tidak memihak dari Sekretaris Jenderal PBB António Guterres. Ketua MHM juga memuji pernyataan Sekjen PBB yang adil dan berwawasan tentang Islam dan nilai-nilainya. Pernyataan tersebut memainkan peran penting dalam memerangi Islamofobia, menantang stereotip yang menyesatkan, dan melawan retorika ekstremis yang berupaya mendistorsi esensi sejati Islam demi keuntungan politik. Imam Akbar Ahmed Al Tayeb menunjukkan bahwa kelompok sayap kanan sering mengeksploitasi narasi palsu ini untuk melayani agenda politik sempit, yang memicu perpecahan dan prasangka.

Grand Syekh menegaskan kembali bahwa kata "Islam" memiliki akar kata yang sama dengan kata "Al-Salaam," yang berarti "damai" dalam bahasa Arab, yang mencerminkan esensi sejati dari iman yang agung ini—kasih sayang, belas kasih, koeksistensi, dan toleransi di antara semua orang, terlepas dari ras, keyakinan, bahasa, atau latar belakang. Hal ini diartikulasikan dengan jelas dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman: "Dan tidaklah Kami mengutus kamu, [Wahai Muhammad], kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam." (Al-Quran, 21: 107) Ia menegaskan bahwa ayat ini merangkum inti pesan Islam—menjunjung tinggi persaudaraan, keadilan, dan toleransi, mengakui semua manusia sebagai anggota satu keluarga, yang berasal dari satu ayah dan satu ibu.

Imam Akbar lebih lanjut menggarisbawahi bahwa umat Islam telah hidup selama berabad-abad dalam kerukunan dengan para pengikut agama lain, menunjukkan keyakinan yang mendalam pada kebebasan beragama, sebagaimana dinyatakan dalam ayat Al-Quran: “Tidak ada paksaan dalam agama.” (Al-Quran, 2: 256) Sejarah, katanya, berdiri sebagai kesaksian yang jelas bahwa Islam adalah agama damai, yang didirikan atas dasar saling pengertian dan kerja sama, bukan konflik atau perpecahan. Ini bukan sekadar klaim—ini adalah realitas historis yang dialami oleh masyarakat yang tak terhitung jumlahnya di Timur dan Barat selama berabad-abad. Ini adalah realitas yang telah, selama berabad-abad, mendefinisikan Islam dan pesannya yang unik kepada dunia.

Ketua MHM juga menjelaskan bahwa Islamofobia, atau "ketakutan irasional terhadap Islam," berasal dari ketidaktahuan dan distorsi yang disengaja terhadap prinsip-prinsip Islam, yang berakar dalam pada perdamaian dan koeksistensi. Ia menunjukkan bahwa kampanye media sayap kanan dan retorika ekstremis, selama bertahun-tahun, telah berusaha untuk secara keliru menggambarkan Islam sebagai agama kekerasan dan ekstremisme—salah satu rekayasa paling menjijikkan dalam sejarah modern. 
Distorsi ini bergantung pada interpretasi yang salah dan eksploitasi yang disengaja dan menipu atas tindakan kekerasan mengerikan yang dilakukan oleh kelompok militer yang tidak ada hubungannya dengan Islam. Grand Syekh Al Azhar lalu mempertanyakan bagaimana mungkin sebuah agama—yang iman para pengikutnya tidak lengkap kecuali mereka percaya pada prinsip yang diabadikan dalam kitab suci mereka, di mana Allah menyapa seluruh umat manusia, dengan mengatakan: "Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal." (Al-Quran, 49: 13)—disalahartikan sebagai agama yang menganjurkan ekstremisme, terorisme, kekerasan, dan pertumpahan darah? Bukankah adil dan benar jika Islam diakui dengan nama yang Allah maksudkan untuknya—agama yang penuh pengertian, toleransi, belas kasih, dan kerja sama? Dan bukankah ketakutan terhadap Islam dan para pengikutnya seharusnya dianggap sebagai gangguan—yang memerlukan penanganan dan kesadaran daripada dibiarkan menyebar tanpa kendali?

Imam Akbar Ahmed Al Tayeb menekankan bahwa tantangan besar yang dihadapi dunia kita saat ini—perang, konflik, dan maraknya ujaran kebencian, intoleransi, ekstremisme, dan diskriminasi—memerlukan persatuan dan solidaritas. Tantangan-tantangan itu memaksa kita untuk membangun jembatan pemahaman di atas reruntuhan ketidaktahuan, kesombongan, dan kebencian serta menyalakan cahaya kebijaksanaan di terowongan gelap stereotip. Dialog antaragama dan antarbudaya bukan lagi kemewahan, tetapi kebutuhan untuk kelangsungan hidup umat manusia, menyelamatkannya dari cengkeraman ketidaktahuan dan kesalahpahaman. Biarkan kata-kata kita menjadi jembatan yang menghilangkan kecemasan Islamofobia melalui wacana moderasi dan keterbukaan terhadap orang lain.

Grand Syekh menekankan bahwa tantangan besar yang dihadapi dunia kita saat ini—perang, konflik, dan maraknya ujaran kebencian, intoleransi, ekstremisme, dan diskriminasi—memerlukan persatuan dan solidaritas. Tantangan-tantangan ini mendorong kita untuk membangun jembatan pemahaman di atas reruntuhan ketidaktahuan, kesombongan, dan kebencian, serta menyalakan cahaya kebijaksanaan di terowongan gelap stereotip. Ia menekankan bahwa dialog antaragama dan budaya bukan lagi kemewahan, tetapi kebutuhan untuk kelangsungan hidup umat manusia, menyelamatkannya dari cengkeraman ketidaktahuan dan kesalahpahaman. Biarkan kata-kata kita menjadi jembatan yang menghilangkan kecemasan Islamofobia melalui wacana moderasi dan keterbukaan terhadap orang lain.

Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa, menurut keyakinan mereka, umat Islam secara agama berkewajiban untuk meyakini bahwa keberagaman agama dan budaya merupakan ketetapan ilahi, sebagaimana Allah SWT berfirman: “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia satu umat, tetapi mereka tidak akan berhenti berselisih.” (Al-Quran, 11: 118). Keberagaman ini, tegasnya, merupakan sumber kekayaan, bukan konflik, dan memerangi Islamofobia bukanlah perjuangan untuk kelompok tertentu, melainkan pertempuran untuk setiap orang yang hatinya berdebar karena cinta akan keadilan.

Grand Syekh juga mengemukakan bahwa Al-Azhar, sebagai otoritas historis Islam dan mercusuar moderasi, bersama MHM, yang diketuainya, telah lama membunyikan peringatan tentang meningkatnya ancaman Islamofobia. Upaya bersama mereka difokuskan pada pembukaan jalur dialog antara Timur dan Barat, yang berpuncak pada penandatanganan Dokumen Persaudaraan Manusia di Abu Dhabi pada tahun 2019, yang ditandatangani bersama oleh Imam Akbar Ahmed Al Tayeb, bersama Paus Fransiskus, Paus Gereja Katolik. Selain itu, Al-Azhar dan MHM telah menyelenggarakan banyak konferensi intelektual global, melatih para cendekiawan dan mahasiswa dari berbagai generasi sebagai duta perdamaian, dan mengirim delegasi cendekiawan ke seluruh dunia sebagai bagian dari Konvoi Perdamaian internasional yang melakukan perjalanan ke seluruh dunia, membawa pesan Islam sebagai agama yang penuh belas kasih, menolak segala bentuk ujaran kebencian dan rasa takut bersama, serta menganjurkan koeksistensi manusia dan integrasi positif berdasarkan dialog dan kerja sama daripada konflik dan perpecahan.

Ia melanjutkan dengan menyoroti upaya Al-Azhar dalam memerangi Islamofobia, termasuk pendirian Observatorium Al-Azhar untuk Memerangi Ekstremisme, yang berupaya untuk mengklarifikasi ajaran Islam yang benar bagi umat Islam dan non-Muslim di seluruh dunia. Observatorium tersebut juga secara aktif melawan ideologi ekstremis, kelompok teroris, dan gerakan kekerasan sambil memantau tindakan kekerasan terhadap umat Islam yang didorong oleh Islamofobia. Melalui pemantauan harian terhadap insiden semacam itu di seluruh dunia, ia mendorong keterlibatan positif untuk memerangi fenomena berbahaya ini di masyarakat yang terkena dampak. Yang Mulia menyatakan penyesalannya atas terus meningkatnya Islamofobia, dengan menyatakan bahwa meskipun ada upaya signifikan, fenomena tersebut terus meluas—didorong oleh retorika populis sayap kanan yang mengeksploitasi kerentanan individu dan kolektif. Hal ini mengingatkan kita, katanya, bahwa perjuangan ini merupakan perjuangan jangka panjang dan tantangan yang dihadapi memerlukan upaya yang lebih besar dan pengembangan mekanisme inovatif untuk mengatasi kompleksitas seputar masalah ini.

Imam Akbar menyerukan perumusan definisi Islamofobia yang diakui secara internasional, yang secara berkala akan mengidentifikasi istilah dan praktik tertentu yang merupakan hasutan, ujaran kebencian, atau kekerasan terhadap Islam dan Muslim berdasarkan identitas agama mereka. Ia juga menganjurkan pembentukan basis data yang komprehensif dan diperbarui secara berkala untuk mendokumentasikan kejahatan rasial dan diskriminatif terhadap Muslim, memantau undang-undang dan kebijakan yang memperdalam atau mengurangi Islamofobia, dan pada akhirnya menyusun undang-undang dan peraturan yang mengekang fenomena ini sambil mempromosikan nilai-nilai dialog, toleransi, dan koeksistensi manusia.

Dalam penutup pidatonya, Grand Syekh Al Azhar menekankan bahwa perang melawan Islamofobia memerlukan upaya berkelanjutan dan praktis yang diwujudkan dalam bentuk pendidikan, dialog, media, dan undang-undang yang melindungi martabat manusia—tanpa memandang agama atau latar belakang. Ia meminta pemerintah dan organisasi untuk bekerja sama dalam mengembangkan mekanisme pemantauan dan evaluasi guna menilai efektivitas inisiatif dan intervensi yang ditujukan untuk memerangi Islamofobia. Melalui upaya bersama seperti itu, kita dapat membangun dunia tempat keadilan dan koeksistensi tumbuh subur dan tempat panji persaudaraan manusia berkibar tinggi di langit.

Sebar Artikel Ini

Artikel Terkait