Praktik Poligami Lebih Didominasi Faktor Tradisi

Grand Syekh Al-Azhar Ahmed Al Tayeb Grand Syekh Al-Azhar Ahmed Al Tayeb

Grand Syekh Al-Azhar Ahmed Al-Tayeb mengatakan bahwa poligami merupakan persoalan yang lebih didominasi oleh pandangan budaya dan tradisi daripada ketentuan syariat. 

Hal ini disampaikan Grand Syekh dalam kajian bertajuk “Al-Imam Al-Tayyib” pada episode ke-18, Minggu (9/4/2023). Kajian ini disiarkan di sejumlah stasiun televisi selama bulan Ramadan 1444 H. Di antara tema yang dibahas adalah tentang pernikahan dan maraknya perceraian. 

Syekh Al-Tayeb menyerukan perlunya ulama melakukan ijtihad dan mengeluarkan fatwa baru yang lebih sesuai dengan maksud Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad saw terkait pernikahan dan poligami. Itu dimaksudkan untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat luas tentang hakikat tuntunan Ilahi terkait hal ini.

Syekh Al-Tayeb juga menegaskan bahwa dirinya sama sekali tidak bermaksud mengubah hukum syariat atau membatalkan hak poligami. “Saya berlindung kepada Allah dari upaya menentukan hukum baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunah,” kata beliau menjelaskan. Bahkan, katanya menambambahkan, berpikir untuk itu saja tidak. 

Syekh Al-Azhar justru ingin mengajak untuk melakukan perenungan kembali yang lebih mendalam terhadap ayat Al-Qur’an dan Sunah sebagai dua sumber utama hukum Islam. Ketua Majelis Hukama Muslimin (MHM) ini  juga mengajak untuk tokoh agama untuk membaca ulang khazanah fikih dan pandanganulama Fikih, Tafsir, dan Hadis terkait persoalan ini.

Menurut Syekh Al-Azhar, para ulama sepakat bahwa dalam kondisi terbaiknya, poligami merupakan keringanan (rukhshah) yang bersyarat. Yaitu, suami harus mampu menafkahi dan berlaku adil terhadap istri-istrinya. Syekh Al-Tayeb menekankan bahwa sekadar ada rasa khawatir tidak dapat memenuhi salah satu dari dua syarat itu sudah membuat pernikahan kedua sebagai suatu tindakan zalim yang tidak boleh dilakukan.

Di sisi lain, Syekh Al-Azhar mengatakan bahwa meskipun ulama-ulama bersepakat mengenai wajibnya menikah bagi laki-laki yang khawatir terjerumus dalam perbuatan zina, mereka juga mensyaratkan bahwa pernikahan itu tidak boleh menimbulkan mudarat bagi istri seperti ketidakmampuan suami memberi nafkah kepada istri. Lebih jauh, Ketua MHM menambahkan bahwa ulama-ulama mazhab Hanafi berpandangan bahwa “jika seorang anak muda khawatir berzina kalau tidak menikah, dan pada saat yang sama khawatir berbuat zalim terhadap istrinya kalau ia menikah, hukum menikah bagi orang seperti ini adalah haram”.

Dari pandangan ulama Hanafi itu, Syekh Al-Azhar menyimpulkan bahwa berbuat zalim terhadap istri merupakan kejahatan yang melebihi kejahatan zina. Itu dalam kasus pernikahan pertama dan terhadap istri pertama. Karena itu, kejahatan itu akan lebih kejam lagi jika terjadi pada pernikahan kedua dan ketiga kalau ada rasa khawatir menzalimi, apalagi dengan niat atau sengaja menzalimi istri yang pertama.

Syekh Al-Azhar kemudian menjelaskan juga bahwa semua Mazhab Fikih sependapat bahwa pernikahan dengan satu istri maupun poligami adalah haram jika suami tidak mampu memberi nafkah kepada istri. Syekh Al-Azhar bertanya-tanya, berapa banyak sekarang kasus laki-laki berpoligami yang memenuhi syarat mampu menafkahi istri pertama beserta anak-anaknya secara adil dengan nafkah yang diberikan kepada istri kedua dan ketiganya. 

Di sisi lain lagi, Syekh Al-Azhar menambahkan bahwa pemahaman ayat tentang kebolehan menikah dengan dua, tiga, atau empat istri di satu sisi dan fatwa-fatwa yang beredar terkait hal itu pada umumnya lebih menitikberatkan pada sisi kebolehannya tanpa memberi perhatian yang cukup pada sisi syarat keadilan dan tidak menimbulkan mudarat bagi perempuan. Akibatnya sampai ada seorang muslim yang miskin berani menikah lagi dan membiarkan istri pertama dan anak-anaknya begitu saja tanpa nafkah yang akhirnya terpaksa meminta-minta kepada kerabatnya, sementara dia merasa bersalah dan memiliki hak yang dijamin oleh agama untuk menikah dengan lebih dari satu istri.

Sykeh Al-Azhar menyayangkan bahwa pemahaman keliru itu sudah beredar sedemikian rupa di masyarakat sampai-sampai orang beranggapan bahwa berpoligami adalah sesuatu yang mubah tanpa syarat dan ketentuan. Masyarakat beranggapan bahwa berpoligami seolah-olah sesuatu yang boleh bahkan jika motivasinya bersifat seksual belaka sekalipun. Menurut Syekh Al-Azhar, kekeliruan ini disebabkan oleh menafsirkan ayat-ayat poligami dalam bayangan adat istiadat, bukan menjadikan ayat-ayat poligami yang menentukan arah adat istiadat. Sangat disayangkan bahwa kondisi seperti ini masih terjadi meskipun tidak sedikit ulama kontemporer yang mengingatkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh praktik poligami akibat pemahaman yang kelitu itu.

Pada episode itu, Syekh Al-Azhar juga mengemukakan pandangan Syekh Muhammad Al-Ghazali dan Syekh Muhammad Abduh terkait soal krisis fikih dan pemahaman yang benar tentang perempuan. Kedua ulama besar itu menegaskan bahwa kondisi perempuan di dunia Arab dan Islam belum mencerminkan yang seharusnya dan dikehendaki oleh Islam. Persoalan ini mendorong kita untuk terus melakukan pembacaan ulang secara cerdas terhadap nushush (ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi) terkait perempuan dan fatwa-fatwa ulama terdahulu menyangkut hal ini. Syekh Al-Azhar juga mengingatkan bahwa kita perlu melihat dampak negatif dan mudarat yang dialami oleh perempuan akibat penerapan poligami yang keliru seperti merendahkan perempuan dan luka hati perempuan ketika dia tulus mencintai suaminya yang berpoligami. 

Acara “Al-Imam Al-Thayyib” disiarkan di Channel 1 televisi satelit Mesir dan di sejumlah televisi satelit negara-negara Arab, di samping melalui laman resmi Syekh Al-Azhar. []

Sebar Artikel Ini

Artikel Terkait